sekedar share,dapat artikel bagus,lupa sumbernya, semoga bermanfaat....
Jika ditanya, apa tujuan hidup anda?
Tentu semuanya menjawab mencari kebahagiaan dan kesenangan hidup. Mulai dari
seorang Ibu yang bahagia dengan kesuksesan mendidik anak, sang bapak yang
sukses dengan karir dan jabatan, seorang caleg yang bahagia dengan terpilih,
bahkan seorang Wariapun bahagia dengan sekedar nongkrong-nongkrong “eksis”.
Akan tetapi apakah yang dirasakan benar-benar kebahagiaan? Apakah kebahagiaan
semu saja? Kalau memang bahagia, apakah Kebahagiaan didunia saja? Tidak
diakhirat yang kekal.
Kita ambil contoh, misalnya
bagaimana seorang artis misalnya artis korea, yang terlihat bahagia dan semua
puncak kebahagiaan dunia ditangannya. Terkenal, dihormati, kaya, makanan enak,
rumah besar dan fasiltas lengkap, wajah yang rupawan dan pasangan hidup yang
menarik. Akan tetapi sudah menjadi rahasia umum bahwa artis korea atau artis
secara umum hidupnya sebenarnya di bahwa tekanan. Harus selalu tampil menarik
untuk mencari pujian dan ridha manusia, kehidupan selalu diekspos, kejar
tayang, mengejar pekerjaan dan persaingan tidak sehat dan berat di dunia artis.
Jadilah pelarian mereka ke narkoba, kawin-cerai dan berbagai skandal kehidupan.
Atau yang lebih parah kebahagiaan semu para waria, yang sudah jelas bagi orang
yang di hatinya masih ada sedikit nurani, maka mereka tidak setuju dengan
mencari kebahagiaan dengan menjadi waria.
Dan perlu kita ingat bahwa
Kebahagiaan dunia semu itu menipu dan sering kali melalaikan dari akhirat.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ
وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا
يَغُرَّنَّكُم بِاللَّهِ الْغَرُورُ
“Sesungguhnya janji Allah adalah
benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan
(pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.” (QS. Luqmaan:
33)
Qa Allah
Ta’ala juga berfirman,
اعْلَمُوا
أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ
وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ
الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا
وَفِي الْآَخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا
الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya
kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan
bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan
anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian
tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi
hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang
menipu” (QS. Al Hadid: 20)
Istidraj:
Kebahagiaan yang lebih semu lagi
Ternyata ada yang harus kita
waspadai lagi. Yaitu ia merasa bahagia di dunia padahal itu adalah hukuman
baginya dari Allah Ta’ala, karena ia bahagia tidak diatas landasan Agama
Islam yang benar. Allah biarkan ia bahagia sementara di dunia, Allah biarkan ia
merasa akan selamat dari ancaman Allah di akhirat kelak, Allah tidak peduli
kepadanya. Itulah istidraj sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
إِذَا
رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ
مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ
“Bila engkau melihat Allah Ta’ala
memberi hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada
dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj
(jebakan) dari Allah.”1
Mengenai ayat,
أَفَأَمِنُواْ
مَكْرَ اللّهِ فَلاَ يَأْمَنُ مَكْرَ اللّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
“Maka apakah mereka merasa aman
dari makar Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan makar
Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf: 99)
Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz
Al-Qar’awi menjelaskan, “Makar Allah adalah istidraj bagi pelaku maksiat
dengan memberikan kenikmatan/kebahagiaan… mereka tidak memuliakan Allah sesuai
dengan hak-Nya. Mereka tidak merasa khawatir [tenang-tenang saja] dengan
istidraj [jebakan] kenikmatan-kenikmatan bagi mereka, padahal mereka
terus-menerus berada dalam kemaksiatan sehingga turunlah bagi mereka murka
Allah dan menimpa mereka azab dari Allah”2
Kita ambil contoh komentar seorang
ibu,
“saya sudah bahagia sekarang,
anak-anak saya semuanya sudah jadi, sudah berhasil semua, saya bangga, anak
pertama wakil direktur di bank, anak kedua saya jadi koordinatur umum di urusan
pajak bea cukai, anak ketiga saya menjadi hakim agung di kabupaten”
Bisa jadi ini adalah istidraj,
jika kebahagiaanya hanya bersandar sesuai dengan komentar diatas tanpa landasan
agama, walaupun jika kita tanya kepada kebanyakan manusia, maka mereka
kebanyakan sepakat bahwa ibu ini memang bahagia sekarang. Akan tetapi, Jika
mengikuti kebanyakan hawa nafsu manusia di muka bumi, maka kita akan kita akan
tersesat. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِن
تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللّهِ
“Dan jika kamu menuruti
kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu
dari jalan Allah.” (QS. Al-An’am: 116).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir
As-Sa’di menafsirkan, “Allah berfirman kepada nabi-Nya Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memberi peringatan dari
menaati/mengikuti mayoritas manusia, karena kebanyakan mereka telah
berpaling dari agama, amal dan ilmu mereka. agama mereka rusak, amal mereka
mengikuti hawa nafsu dan ilmu mereka tidak diterapkan dan tidak bisa mencapai
jalan yang benar”3
Sering-sering
muhasabah antara nikmat dan istidraj
Dan sudah sepatutnya kita berilmu,
yaitu bagaimana membedakan antara nikmat dan istidraj dengan
sering-sering bermuhasabah. Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Adapun (kemampuan) membedakan antara nikmat dan fitnah, yaitu
untuk membedakan antara kenikmatan yang Allah anugerahkan kepadanya -berupa
kebaikan-Nya dan kasih-sayang-Nya, yang dengannya ia bisa meraih kebahagiaan
abadi- dengan kenikmatan yang merupakan istidraj dari Allah. Betapa banyak
orang yang terfitnah dengan diberi kenikmatan (dibiarkan tenggelam dalam
kenikmatan, sehingga semakin jauh tersesat dari jalan Allah, Pen), sedangkan ia
tidak menyadari hal itu. Mereka terfitnah dengan pujian orang-orang bodoh,
tertipu dengan kebutuhannya yang selalu terpenuhi dan aibnya yang selalu
ditutup oleh Allah”4
Standar
bahagia di dunia seperti orang kafir?
Jika ada komentar, “saya
hidup bahagia sekarang, punya istri yang cantik, anak yang lucu dan pintar,
punya rumah yang cukup besar karir saya di kantor terus naik dan bisnis lancar
terus”. Maka, orang kafir juga bahagianya dengan komentar di atas,
oleh karena itu tidak sepantasnya seorang muslim bahagia HANYA dengan
patokan kebahagiaan seperti komentar di atas. Mengenai ayat,
لَا
يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلَادِ مَتَاعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ
مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۚ وَبِئْسَ الْمِهَادُ
“Janganlah sekali-kali kamu
terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu
hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam;
dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” QS. Ali Imran: 196-197)
Ibnu Katsir rahimahullah
menafsirkan, ”Janganlah kalian melihat berbagai kenikmatan, kebahagian dan
kemudahan orang-orang kafir. Tidak berapa lama lagi, semuanya akan lenyap dari
tangan mereka. Nantinya, mereka akan terjerat oleh amalan-amalan buruk mereka. Kami
memberikan kemudahan mereka di sana, sebagai istidraj semata. Semua yang
mereka miliki hanyalah (kesenangan sementara). Kemudian tempat tinggal mereka
ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya“.5
Dan jika kita seperti orang kafir
hanya ingin bahagia di dunia saja, maka terkadang Allah Ta’ala
memberikannya sekedar kehendak Allah, Allah Ta’ala berfirman,
مَّن
كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاء لِمَن نُّرِيدُ
ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا مَذْمُوماً مَّدْحُوراً
“Barangsiapa menghendaki
kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu sesuai
dengan apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan
Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan
tercela dan terusir.” (QS. Al-Isra’: 17)
Apa
itu kebahagiaan yang sesungguhnya?
Kebahagiaan adalah bahagia jika
melaksanakan perintah Allah dan merasa sedih jika melakukan
kemaksiatan. Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ
عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ
حَيَاةً طَيِّبَةً
“Barangsiapa yang mengerjakan
amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An
Nahl: 97)
Jadi jika kita berat melaksanakan
shalat, puasa, atau bahkan berat melaksanakan amalan-amalan sunnah, maka itu
adalah tanda tidak bahagia. Kemudian jika kita melakukan maksiat tetapi kita
tenang-tenang saja, atau yang lebih parah tidak tahu bahwa hal yang kita
lakukakan adalah maksiat dan dilarang oleh agama. Bandingkan dengan perkataan
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu,
إِنَّ
الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ
يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى
أَنْفِهِ فَقَالَ بِهِ هَكَذَا
“Seorang mukmin memandang
dosa-dosanya seakan-akan ia duduk di bawah sebuah gunung yang ditakutkan akan
jatuh menimpanya. Sementara seorang fajir/pendosa memandang dosa-dosanya
seperti seekor lalat yang lewat di atas hidungnya, ia cukup mengibaskan tangan
untuk mengusir lalat tersebut.”6
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
menjelaskan mengenai ciri kebahagiaan: “jika diberi [kenikmatan] maka
ia bersyukur, jika diuji [dengan ditimpa musibah] ia bersabar dan jika
melakukan dosa ia beristigfar [bertaubat]. Tiga hal ini adalah tanda
kebahagiaan.”7
Dan mengenai bahagia yang
sesungguhnya jelas letaknya adalah di hati. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ
الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Yang namanya kaya (ghina’)
bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang
namanya ghina’ adalah hati yang selalu merasa cukup.”8
Oleh karena itu carilah kebahagiaan
hakiki tersebut, sebagaimana kita mencari kesembuhan jika badan kita sakit,
jika badan kita sakit maka kita akan menempuh berbagai penjuru dunia untuk
mencari kesembuan. Jawabannya adalah ilmu, doa dan bersungguh-sungguh.
Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ
جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
“Dan orang-orang yang
bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami” (QS. Al-Ankabut: 69)
Contoh
kebahagiaan dunia-akhirat
Inilah contoh kebahagiaan para ulama
salaf, mereka berkata,
لَوْ
يَعْلَمُ المُلُوْكُ وَأَبْنَاءُ المُلُوْكِ مَا نَحْنُ فِيْهِ لَجَلِدُوْنَا
عَلَيْهِ
“Seandainya para raja dan
pangeran itu mengetahui kenikmatan yang ada di hati kami ini, tentu mereka akan
menyiksa kami dengan pedang.”9
Contoh ulama yang mencerminkan
kebahagiaan dunia-akhirat adalah syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Muridnya yaitu Ibnul Qayyim menceritakan kebahagiaan gurunya, ”Allah
Ta’ala pasti tahu bahwa aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih
bahagia hidupnya daripada beliau, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Padahal
kondisi kehidupan beliau sangat susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan
duniawi, bahkan sangat memprihatinkan. Ditambah lagi dengan siksaan dan
penderitaan yang beliau alami di jalan Allah Ta’ala, yaitu berupa siksaan dalam
penjara, ancaman dan penindasan dari musuh-musuh beliau. Namun bersamaan dengan
itu semua, aku dapati bahwa beliau adalah termasuk orang yang paling bahagia
hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya dan paling tenang
jiwanya. Terpancar pada wajah beliau sinar kenikmatan hidup yang beliau
rasakan. Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan gundah
gulana atau muncul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk atau ketika kami
merasakan kesempitan hidup, kami segera mendatangi beliau untuk meminta
nasehat, maka dengan hanya memandang wajah beliau dan mendengarkan nasehat
beliau, serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti
dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang”.10
Bahkan ketika beliau di penjara
beliau Ibnu Taimiyah berkata, “Seandainya benteng ini dipenuhi dengan
emas, tidak ada yang bisa menandingi kenikmatanku berada di sini.”11
Beliau juga berkata, “Orang
yang dipenjara adalah orang yang hatinya dibelenggu dari Rabb-nya Ta’ala”
Beliau juga berkata, “Apa
yang dilakukan oleh musuh-musuhku terhadapku? Sesungguhnya surgaku dan tamannya
ada di hatiku, jika, ke mana aku pergi ia selalu bersamaku, jika mereka
memenjarakanku maka penjara adalah khalwat bagiku, jika mereka membunuhku maka
kematianku adalah syahid, jika mereka mengusirku maka kepergianku adalah
rekreasi.”12
—
Catatan
Kaki
1
HR. Ahmad, lihat Shahihul Jami’ no. 561
2
Al-Jadid fii Syarhi Kitabit tauhid hal. 306, Maktabah As-Sawadi, cet.II, 1417 H
3
Taisir Karimir Rahmah hal. 248, Dar Ibnu Hazm, Beirut, cet. I, 1424 H
4
Madarijus salikin 1/189, Darul Kutub Al-‘Arabi, beirut, cet. III, 1416 H,
Syamilah
5
Tafsir Ibnu Katsir 2/192, Dar Thayyibah, cet. II, 1420H, Syamilah
6
HR. Bukhari no. 6308
7
Matan Qowa’idul Arba’
8
HR. Bukhari dan Muslim
9
Rawai’ut Tafsir Ibnu Rajab 2/134, Darul ‘Ashimah, cet.I, 1422 H, Syamilah
10
Al-wabilush shayyib hal 48, Darul Hadits, Koiro, cet. III, Syamilah
11
Idem
12
Idem
—
No comments:
Post a Comment